بســـــم الله الرحمن الرحيم

"Agar Harta Berkah dan Bertambah"

“Harta benda ibarat air, carilah dari sumber yang jernih, lalu alirkan ke tempat-tempat yang membutuhkan. Harta benda yang mengalir sebagai amal saleh sosial menuju orang-orang yang kelaparan, terhimpit utang, tidak mampu membiayai pendidikan, tidak memiliki modal usaha, akan membersihkan jiwa. Sedang harta benda yang disimpan tidak mengalir dan mampat justru dapat membusukkan jiwa.”

“Dan amal sedekah itu hanyalah akan menambah seseorang makin banyak hartanya maka bersedekahlah kalian, niscaya Allah swt. Akan melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian.” (HR Ibnu Abi Dunya)

Salah satu ciri harta yang berkah adalah baik dan halal cara mendapatkannya, memanfaatkanya, dan menyalurkannya. Harta yang berkah itulah yang akan membawa kesejahteraan bagi pemiliknya, lahir maupun batin. Lalu bagaimana caranya agar harta menjadi berkah dan bertambah ?


Prof. K.H. Didin Hafidhuddin, dalam bukunya Agar Harta Berkah & Bertambah menguraikan masalah dan hikmah zakat secara praktis, rinci, dan lugas. Selain itu, pakar zakat ini juga memaparkan berbagai hal tentang infak, sedekah, dan wakaf. Berikut ringkasannya :


Kedudukan Harta dalam Islam

”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi: 46)

Harta dalam bahasa Arab disebut dengan al-maal ((ÇáãÇá. Artinya ‘sesuatu yang digandrungi dan dicintai oleh manusia’. Al-muyul yang artinya ‘kecenderungan’ mempunyai akar kata yang sama dengan al-maal, yaitu sesuatu yang hati manusia cenderung ingin memilikinya. Siapa sih tak ingin memiliki harta? Harta apapun bentuknya bagaikan bunga yang dikerubuti lebah. Bagaikan gula yang dikerumuni semut. Bagaikan seonggok daging yang diperebutkan srigala-srigala lapar. Bagaikan setitik air di padang pasir yang menjadi harapan hidup orang-orang nan kehausan. Ibaratnya adalah keberadaan harta akan menjadi magnet dan daya tarik bagi manusia, terutama mereka yang haus akan harta.

Harta bagaikan pisau bermata dua. Harta dapat dipakai untuk membangun,memperbaiki, memperindah, membuat semarak, menggembirakan, mengakrabkan dan banyak hal yang sifatnya positif. Sebaliknya, harta juga bisa merusak, merobohkan, menyengsarakan, memutuskan hubungan kekerabatan, pertempuran, pembunuhan, fitnah dan keburukan lainnya.

Mengetahui hakikat harta bagi manusia, terutama kaum muslimin sangat penting. Sebab, tanpa memahaminya, manusia justru akan diperbudak oleh harta. Harta yang seharusnya menjaga diri manusia justru membuat manusia tidak bisa tidur dan tenang karena harus menjaga hartanya. Salah memiliki harta akan menjadikan harta tersebut bumerang bagi dirinya. Harta ibaratnya kuda liar yang seringkali dijadikan mainan rodeo bagi para koboi. Jika gagal mengendalikannya maka penunggangnya akan jatuh dan terinjak-injak. Masih untung kalau tidak luka atau mati. Bagi yang lihai, maka sebentar ia akan terguncang tapi selanjutnya kuda tersebut dapat dikendalikan ke arah mana tujuan sang penunggang.

Demikian pula dengan harta. Wajib bagi seorang muslim, jika hidupnya ingin selamat, mengetahui hakikat harta. Bagaimana fungsi dan kedudukannya dalam agama, bagaimana agama mengatur cara memperolehnya secara benar, mengelola dan membelanjakannya sesuai aturan agama. Kalau tidak, hidupnya kelak akan sengsara, paling tidak di akhirat kelak.


Islam Bicara Soal Harta

Islam sebagai ajaran yang menjelaskan segala sesuatu telah banyak berbicara tentang harta. Harta bisa menjadi alat untuk mendapatkan surga, tapi juga bisa menjerumuskan manusia ke dalam neraka. Allah menyampaikan hal tersebut di dalam Al-Qur’an,

”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi: 46)

Salah satu naluri insani yang diberikan Allah kepada manusia adalah kecenderungan mencintai lawan jenis, mencintai anak dan keturunan, serta mencintai materi (harta, kekayaan lain dan jabatan), sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an,

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran: 14)

Pada ayat di atas dikatakan bahwa harta adalah perhiasan hidup. Harta menjadi sesuatu yang disenangi untuk dimiliki, dipergunakan bahkan sekadar untuk dilihat. Dengan harta sesuatu menjadi mudah, dengan harta sesuatu menjadi indah. Bukankah kita, terutama kaum ibu juga senang memandangi perhiasan di etalase toko emas meskipun tidak bisa memilikinya? Kecenderungan terhadap harta itulah biasanya dipakai manusia untuk berusaha bekerja keras mendapatkannya, tidak sedikit pula yang mendapatkannya dengan menggunakan berbagai cara, halal atau haram. Mereka tidak mempedulikan aturan yang ada, baik aturan agama, masyarakat maupun negara. Bahkan terlontar kata-kata naif dari mereka untuk menjustifikasi usaha mendapatkan harta secara tidak sah, ”Mencari harta yang haram saja susah, apalagi yang halal.” Begitulah kalau harta sebagai perhiasan telah membutakan hati dan pikiran.

Harta di samping sebagai perhiasan hidup juga sebagai ujian dari Allah. Allah akan menguji mereka yang telah mendapatkan harta bagaimana cara mengelola dan memanfaatkan harta tersebut. Allah berfirman,

”Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.”

(Ali Imran: 186)

Maksudnya adalah apakah orang yang memegang harta tersebut mampu memanfaatkan harta tersebut dengan baik sesuai tuntunan Islam atau justru menjadikan harta tersebut membakar dirinya seperti bara api yang terus dipegangnya. Apakah ia mampu mempertahankan bara api yang panas di tangan? Allah berfirman,

”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (al-Anfaal: 28)

Oleh karena itu, selanjutnya kedudukan harta di dalam Islam adalah sebagai bekal ibadah dan perjuangan. Dengan harta yang dimiliki, seorang muslim akan melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang paling berharga, yaitu surga. Dengan hartanya itu seorang muslim membeli surga dengan perniagaan yang ditunjukkan Allah melalui firman-Nya,

”Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (Yaitu) Kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (ash-Shaff: 10-11)


Harta yang Berkah & Bertambah

Harta yang Allah berikan kepada manusia dapat dipergunakan untuk menyejahterakan dirinya, keluarga, masyarakat sekitar, negara bahkan penduduk dunia. Sejahtera artinya hidup dengan harta yang berkah. Salah satu ciri harta yang berkah adalah baik dan halal cara mendapatkannya, baik dan halal memanfaatkannya, baik dan halal menyalurkannya. Harta yang didapat dengan baik, dimanfaatkan dan disalurkan dengan baik sesuai tuntunan agama Islam merupakan harta yang berkah. Harta yang berkah itulah yang akan membawa kesejahteraan bagi pemiliknya, baik sejahtera lahir maupun batin.

Harta yang baik dan berkah tidak saja menyejahterakan individu pemilik harta tapi juga masyarakat secara keseluruhan. Mengapa demikian? Salah satu kewajiban mereka yang memiliki harta adalah membayar zakat. Zakat adalah salah satu instrumen penting di dalam Islam dalam mensejahterkan umat. Dan zakat, juga infak, sedekah, dan wakaf (biasa disingkat ZISWAF) apabila dikelola dengan baik dan penyaluran yang merata akan menimbulkan kesejahteraan tidak saja pada individu, tapi juga umat dan negara. Secara empiris, kesejahteraan sebuah negara karena zakat terjadi di zaman keemasan Islam. Yaitu ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintah. Meskipun beliau hanya memerintah selama 22 bulan karena meninggal dunia, negara menjadi makmur. Dengan pemerintahan yang bersih dan jujur, zakat ditangani dengan baik. Kala itu negara Islam yang demikian luas (hampir sepertiga dunia) tidak ditemukan lagi adanya mustahiq, yaitu orang yang berhak mendapatkan zakat karena semua penduduk sudah menjadi muzakki (orang yang wajib berzakat). Itulah pertama kali ada istilah zakat diekspor karena di dalam negeri sudah tidak ada lagi yang patut disantuni. Wallahu’alam bis Showab!

dari buku : Agar Harta Berkah & Bertambah
Karya : Prof. DR.K.H. Didin Hafidhuddin

Islamic Forum pada 04 September 2009 jam 5:29

No comments:

Post a Comment